Banyak sekali start up Indonesia, baik yang masih kecil maupun yang sudah besar, memilih untuk memarkir saham pendirinya di Singapura. Pilihan ini sering dianggap sikap tidak nasionalis sehingga perusahaan dan nilai yang diciptakan melaluinya tidak lagi dianggap sebagai karya anak bangsa asli.

Penulis tidak ingin membahas mengenai asal usul label tidak nasionalis kepada perusahaan yang memiliki induk perusahaan di luar negeri. Tulisan singkat ini hanya akan mencoba menjawab KENAPA banyak start up memutuskan untuk membuat induk perusahaan di luar negeri khususnya Singapura.

Syarat Perusahaan Induk Luar Negeri

Penulis kebetulan pernah membantu beberapa start up dalam memproses pendanaan perusahaannya oleh venture capital (VC) atau investor lainnya dari luar negeri. Biasanya setelah investor secara prinsip sudah menyetujui rencana investasi, mereka akan mengeluarkan term sheet yang merupakan versi ringkas dari ketentuan investasi yang mereka inginkan.

Salah satu ketentuan penting dalam terms sheet ini adalah bagaimana investasi akan mereka lakukan. Baik dari segi instrumen yang dikehendaki maupun struktur perusahaan yang diharapkan. Dalam kaitan dengan struktur perusahaan, dapat dikatakan delapan dari sepuluh VC menginginkan agar start up yang hampir seluruhnya berbentuk PT Indonesia itu, membentuk perusahaan induk di Singapura.

Caranya? Founders (pendiri) start up yang bersangkutan diminta mendirikan perusahaan di Singapura, dan perusahaan Singapura tersebut kemudian membeli seluruh saham milik founders start up. Hasilnya, perusahaan start up yang sebelumnya perusahaan milik warga negera Indonesia 100% berubah menjadi perusahaan PMA milik perusahaan di Singapura.   

Pendiri Start Up Senang Pindah ke Luar Negeri?

Berkaca dari pengalaman Penulis, tidak ada founder start up yang senang memindahkan sahamnya ke perusahaan Singapura. Alasannya, transaksi tersebut cukup mahal. Biaya pendirian dan lain-lain sekitar $5,000-10,000. Di samping itu ada biaya tahunan yang juga lumayan besar. Semua biaya tersebut harus ditanggung oleh founder.

Alasan lainnya, saham atas perusahaan yang mereka dirikan dan bangun dengan perjuangan dan doa harus berpindah ke yurisdiksi lain yang jauh dan asing bagi mereka. Tentu boleh kita bertanya, kalau tidak senang pindah ke luar negeri, kenapa lantas mau membentuk perusahaan induk di Singapura?

Sepanjang pengalaman Penulis, perjuangan untuk mengubah syarat memindahkan induk perusahaan di luar negeri amat sangat sulit. Hampir seluruh investor beranggapan bahwa syarat membentuk induk perusahaan di Singapura adalah deal breaker. Artinya jika syarat itu tidak dipenuhi, maka mereka tidak akan melakukan investasi.

Sikap para investor asing tersebut menurut Penulis lahir dari akumulasi berbagai pengalaman investor sebelumnya yang sudah mencoba untuk melakukan investasi langsung ke perusahaan Indonesia. Dan secara hukum hal tersebut memang tidak dilarang.

Pertanyaan Pentingnya Kenapa Investor meminta Perusahaan Induk?

Jadi pertanyaan yang sangat penting adalah kenapa investor asing mensyaratkan pembentukan perusahaan induk di luar negeri dalam hal ini Singapura yang paling populer?

Paling tidak ada dua alasan kuat yang membuat investor meminta start up Indonesia membuat perusahaan induk di Singapura. Yang Pertama adalah sulitnya melakukan enforcement atau pelaksanaan perjanjian di Indonesia. Kedua, Singapura memberikan akses pada modal yang jauh lebih mudah.

Masalah Enforcement Perjanjian

Kebanyakan investor tidak nyaman untuk menandatangani perjanjian dengan perusahaan Indonesia dan juga founders di Indonesia. Karena enforcement suatu perjanjian sangat sulit dilakukan di Indonesia.

Masalah ini dihadapi oleh banyak investor asing dan warga negara Indonesia. Ada beberapa sebab utama yang menurut Penulis saling berkaitan, antara lain masalah struktural peradilan yaitu ketiadaan perangkat enforcement, tingginya tingkat kriminalisasi masalah perdata, dan rendahnya kepercayaan pada pengadilan dan lembaga penegak hukum.

Salah satu referensi yang dapat kita gunakan adalah peringkat Ease of Doing Business Survei 2020 yang dilakukan oleh World Bank. Pada kategori Enforcing Contract, Singapura menempati ranking 1 dibanding negara lain di seluruh dunia dan Indonesia menempati ranking 139.

Contract enforcement adalah problem yang kita hadapi sejak Penulis mulai kuliah di Fakultas Hukum pada akhir 80-an. Setelah lebih dari 30 tahun masalah ini belum terpecahkan. Sayangnya, Penulis belum melihat adanya upaya yang betul-betul serius untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Akses Kepada Modal

Masing-masing negara memiliki “nilai” yang berbeda yang antara lain terefleksi dalam hal pengakuan oleh negara, perusahaan atau lembaga lainnya. Nilai tersebut tidak muncul dalam semalam. Akan tetapi dibangun dengan upaya yang sangat keras dalam waktu yang panjang.

Untuk soal akses kepada modal, Singapura memiliki nilai yang sangat tinggi. Dalam survei tahun 2020 yang dilakukan antara lain oleh USA News dan Wharton, Singapura berada pada peringkat 12 Best Countries ketegori Entreprenuership yang salah satu kriterianya kemudahaan akses pada modal. Indonesia dalam survei yang sama berada pada peringkat 42.

Kemudahaan akses pada modal ini menjadi salah satu pertimbangan penting bagi investor. Karena dengan pembiayaan yang diberikan, perusahaan akan terus tumbuh dan membutuhkan pembiayaan lanjutan termasuk ketika perusahaan akan melakukan penawaran saham kepada publik (initial public offering – IPO).

Dalam kaitan dengan IPO misalnya. Bursa di Singapura (Singapore Exchange – SGX) sudah membuka kemungkinan dilakukannya IPO oleh perusahaan yang memiliki beberapa jenis saham dengan hak berbeda. Sesuatu yang belum dilakukan oleh Bursa Efek Indonesia.

Kedua alasan di atas menurut Penulis cukup untuk membuat tidak sedikit investor akhirnya memilih berinvestasi di perusahaan Singapura ketimbang Indonesia. Lalu apakah kemudian kita pantas menghujat founder start up yang “terpaksa” memilih membuat perusahaan induk di Singapura? Padahal walaupun punya induk di Singapura, ketika perusahaannya maju, sebagai bangsa kita juga akan dapat manfaatnya. Karena para start up tersebut sebenarnya berusaha ‘menjemput bola” dalam mendatangkan investasi asing, yang jelas sangat kita butuhkan, ke Indonesia.

Penulis melihat apa yang dilakukan para founder start up tersebut tidak ada salahnya. Akan tetapi pada saat yang sama Penulis juga berharap agar kita semua dan khususnya pemerintah terus berusaha meningkatkan nilai Indonesia di mata dunia. Sehingga start up kita tidak harus jauh-jauh bikin perusahaan induk di Singapura.

Dimuat di Hukumonline.com – 30 April 2020 >>