Pandemi Covid-19 yang melanda dunia merupakan tsunami yang mengakibatkan krisis ekonomi dunia. IMF meramalkan ekonomi dunia akan berkontraksi 3%. Sementara ekonomi Indonesia diramalkan hanya akan tumbuh 0,4% dibandingkan target sebelumnya 5,4%.

Penurunan ini sangat signifikan dan jelas akan berefek langsung pada peningkatan jumlah pengangguran. Skenario terburuk pemerintah, akan ada tambahan pengangguran sejumlah 5,93 juta orang. Hingga 13 April 2020, Kemenaker mencatat sudah ada 2,8 juta orang yang di-PHK.

United Conference on Trade and Development (UNCTAD) memperkirakan akan terjadi penurunan yang sangat tajam terhadap arus investasi asing (FDI) dunia, hingga sebesar 30%-40%. Penurunan ini antara lain akibat terjun bebasnya nilai banyak perusahaan, kebijakan proteksi yang muncul pada banyak negara dan perubahan strategi ekspansi banyak perusahaan multinasional.

Dengan penurunan tingkat FDI dunia ini, persaingan antar negara penerima investasi asing langsung ini menjadi lebih ketat. Meski demikian, beberapa negara seperti Australia malah untuk sementara waktu memperketat pengambilalihan saham oleh perusahaan asing. Ini dilakukan untuk menghindari sikap predatory pasar mengingat banyak perusahaan Australia mengalami penurunan nilai yang sangat signifikan.

Untuk Indonesia tampaknya pilihan cukup jelas. Investasi asing tetap dibutuhkan, bahkan bisa dikatakan more than ever. Jika tidak, bukan mustahil angka pertumbuhan ekonomi kita akan terjerembab jauh di wilayah negatif. Dengan kue FDI dunia yang mengecil, persaingan antar negara (apalagi emerging countries) untuk mendapat bagian semakin ketat. Oleh karena itu kita perlu segera mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dapat menarik FDI sebanyak mungkin.

Kendala Besar Investasi

Dari pengalaman membantu investor bergelut dengan berbagai masalah investasi selama lebih dari dua puluh tahun, studi atas pandangan beberapa asosiasi industri mengenai masalah-masalah investasi dan laporan media masa, paling tidak ada tiga tantangan besar di bidang hukum untuk investor asing maupun domestik.

Pertama, masalah produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding negara pesaing kita (misalnya Vietnam), dan peraturan ketenagakerjaan yang dari sudut pandang pengusaha kurang seimbang. Kedua, masalah tumpang tindih peraturan. Ketiga, masalah masalah perizinan yang super ruwet. Dua masalah terakhir selama ini menciptakan ketidakpastian hukum dan menjadi ladang subur korupsi.

Rasanya setiap pemerintahan sejak reformasi dengan cara berbeda-beda juga selalu menuding hal-hal tersebut sebagai masalah dan coba melakukan perbaikan. Sayangnya upaya yang dilakukan tidak cukup serius. Tidak heran semua menemui jalan buntu. Ketiga masalah tersebut disebabkan oleh problem struktural yang sudah mengakar sejak lama. Satu-satunya jalan memperbaikinya adalah melalui perubahan mendasar yang menyasar langsung pada akar masalah.

RUU Cipta Kerja Upaya Perubahan Struktural?

RUU Cipta Kerja memiliki cakupan yang sangat luas dengan kurang lebih 1200 pasal dan mengubah 79 undang-undang berbagai sektor. Dilihat dari sisi manapun, ini merupakan RUU yang paling kompleks, bukan hanya dari sisi perumusannya. Bagi pembacanya, kompleksitas ini memberi tantangan tersendiri.

Kompleksitas tersebut bukan tanpa alasan. Upaya mengubah berbagai undang-undang dalam satu produk hukum itu adalah jurus pamungkas guna menghilangkan inkonsistensi berbagai undang-undang dan memuluskan sistim perizinan online nasional terpadu yang disebut online single submission (OSS). Setelah sebelumnya upaya integrasi perizinan dengan OSS melalui peraturan pemerintah tidak terlalu berhasil mengatasi tumpang tindih peraturan.

Saat ini OSS menjadi harapan besar bagi sistim perizinan usaha tanpa korupsi serta meningkatnya transparansi data dunia usaha. Jika melihat suksesnya sistem online pendirian perseroan terbatas dan fidusia yang berhasil menghapus korupsi dan menghasilkan standar baru transparansi badan usaha di Indonesia, harapan itu sangat mungkin menjadi kenyataan. Ada beberapa perubahan mendasar yang diharapkan dapat memberi dampak besar perbaikan sistem perizinan dan keruwetan peraturan.

Sistem Perizinan yang Rasional dengan Risk Based Analysis

RUU Cipta Kerja memperkenalkan kerangka berpikir baru dalam menentukan apakah izin diperlukan untuk suatu kegiatan usaha. Ini adalah perubahan yang sangat mendasar dan dapat menjadi pintu masuk menuju era modern sistem perizinan. Selama ini sistem perizinan di Indonesia berjalan tanpa kerangka berpikir yang jelas. Izin dibuat berdasarkan asumsi bahwa semua kegiatan usaha, tanpa melihat jenis, bobot permasalahan dan dampak, wajib memperoleh izin pemerintah. Bahkan setiap langkah dalam rangka memperoleh izin, harus juga memiliki izin lain sebagai prasyarat.

Sistem yang seenaknya tersebut membuat pejabat pemerintah menjadi pengendali total atas setiap gerak dan langkah pengusaha. Saya tidak mengetahui dengan jelas kenapa kita sampai sekarang memakai sistem yang tidak didasari oleh azas berpikir yang baik tersebut. Namun cukup luas anggapan bahwa metode perizinan yang dibangun sejak orde baru itu bertujuan untuk membuka peluang korupsi oleh pemberi izin.

Dengan digunakannya RBA, tidak ada lagi izin yang diada-adakan. Setiap kegiatan yang dianggap membutuhkan izin harus dapat dibuktikan memang menyangkut sumber daya yang langka, atau memiliki risiko lingkungan hidup, kesehatan, keselamatan, serta risiko lain yang dari waktu ke waktu dianggap penting oleh pembentuk hukum. Perubahan penting ini diyakini dapat berperan mengurai kusutnya proses perizinan dan jika diaplikasikan dalam rangka OSSjelas akan mengurangi korupsi dalam perizinan secara signifikan.

Tumpang Tindih Peraturan dan Hubungan Pusat-Daerah

Hubungan pusat dan daerah juga selama ini menjadi banyak menjadi bottleneck proses perizinan serta kesemrawutan peraturan. Terdapat beberapa titik krusial hubungan pusat dan daerah yang dicoba diperbaiki oleh RUU ini. Salah satu yang penting adalah upaya untuk menjamin tersedianya dengan cepat rencana detail tata ruang (RDTR) kabupaten/kota termasuk adanya versi digital yang dapat diakses oleh masyarakat.

Sampai dengan Maret 2020, dari 2000 RDTR yang seharusnya tersedia, baru 55 yang sudah di Perda-kan. Kesenjangan masih sangat besar terlepas dari upaya pemerintah yang cukup keras selama ini untuk mendorong pembuatan RDTR. Fungsi RDTR ini sangat penting sebagai acuan berbagai perizinan. Dari izin bangunan sampai dengan izin usaha karena RDTR memberikan informasi level mikro tentang peruntukan suatu lokasi. Integrasi RTDR digital dengan OSS dan rasionalisasi perizinan dengan RBA, waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh berbagai izin menjadi berkurang drastis. Secara otomatis korupsi dan pungli pada berbagai bidang perizinan juga menjadi sirna.

Hal lain yang cukup penting adalah peraturan pusat, daerah dan antar daerah yang seringkali tidak sinkron. Bisa dikatakan ini terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah sejak 1999. Dalam pengambilan kebijakan saat itu serta dua kali perubahan setelahnya, pentingnya koordinasi yang baik dalam pengambilan kebijakan menyangkut dunia usaha tidak menjadi perhatian utama.

Dengan implementasi OSS yang diharapkan dapat menjadi pintu utama sebanyak mungkin perizinan usaha di Indonesia, koordinasi yang lebih ketat dan baik antara pusat dan daerah tidak terhindarkan lagi. Oleh karena itu, RUU ini memperjelas pola hubungan antara Presiden, menteri, kepala daerah dan pemerintah daerah dalam kaitan dengan percepatan pelayanan dan perizinan pemerintah, serta pelaksanaan program strategis dan kebijakan pemerintah pusat.

Dengan pola hubungan kerja baru ini, ego sektoral dan daerah yang seringkali menghambat akibat pemberian kewenangan langsung oleh berbagai undang-undang kepada menteri dapat diatasi. Dengan diperjelasnya hubungan antara Presiden dengan menteri, kepala daerah serta pemerintah daerah, kesulitan yang muncul dalam pelaksanaan berbagai program perbaikan perizinan dan peraturan menjadi lebih mudah teratasi.

Perubahan Bidang Ketenagakerjaan

Kita tidak bisa berbicara mengenai produktivitas tenaga kerja tanpa melihat masalah dalam pendidikan bangsa kita dari tingkat dini sampai dengan pendidikan tinggi. Dengan kualitas pendidikan kita di semua lini yang sayangnya masih rendah, tidak heran tenaga kerja kita pada umumnya kalah bersaing dari tenaga kerja negara pesaing.

Oleh karena itu, masalah rendahnya produktivitas ini tidak dapat diselesaikan dengan mengeluarkan undang-undang saja. Fokus penyelesaian sebaiknya diarahkan pada upaya evaluasi menyeluruh, dilanjutkan dengan reformasi total sistem pendidikan untuk dapat memberikan pendidikan berkualitas pada anak bangsa.

Menyangkut ketentuan ketenagakerjaan yang dianggap memberatkan pengusaha, paling tidak ada tiga poin yang diharapkan dapat diperbaiki. Pertama, ketentuan mengenai PHK yang bersifat sangat tertutup. Hal ini seringkali menyulitkan perusahaan dalam hal terjadinya pelanggaran ataupun dugaan tindak pidana oleh oknum karyawan. Kedua, masalah perhitungan pesangon yang dianggap lebih tinggi dibandingkan negara pesaing kita. Ketiga, proses penetapan upah minimum yang seringkali tidak predictable. Hal ini sering membuat perubahan signifikan terhadap rencana usaha dan investasi, yang akhirnya dapat mempengaruhi kelangsungan usaha.

Apa yang dianggap sebagai permasalahan peraturan ketenagakerjaan ini tentu saja hanya bisa diselesaikan dengan perubahan Undang-Undang No. 13 tahun 2003. Kiranya wajar suatu undang-undang yang sudah 17 tahun untuk ditinjau kembali. Apalagi terdapat suara yang kuat dari banyak pihak pada satu sisi stakeholder undang-undang tersebut. Tentu saja proses perubahan harus dilakukan melalui dialog yang cukup dengan seluruh stakeholder. Karena itu saya menyambut baik keputusan Presiden untuk menunda pembahasan klaster tenaga kerja dari RUU Cipta Kerja. Semoga dengan penundaan pembahasan ini, dapat dicapai solusi yang diterima oleh seluruh stakeholder.

Beberapa Permalahan RUU Cipta Kerja

Di samping beberapa perubahan struktural yang sejak lama ditunggu, paling tidak ada dua permasalahan yang cukup menggangu dalam RUU ini yang perlu saya angkat dalam kesempatan ini.

Pertama adalah pasal 170 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengubah ketentuan dalam RUU Cipta Kerja (ketika sudah menjadi UU) serta ketentuan undang-undang yang tidak diubah dalam RUU Cipta Kerja. Pasal ini bukan saja bermasalah dari segi ketatanegaraan namun juga logika secara umum.

Jika memang tujuan RUU Cipta Kerja adalah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk bisa mengubah undang-undang apapun, yang mirip dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk membentuk undang-undang tanpa DPR, kenapa harus repot membuat RUU Cipta kerja yang sangat kompleks itu? Lebih baik langsung buat satu RUU singkat yang berisi Pasal 170, kemudian buat omnibus law lewat instrumen peraturan pemerintah.

Masalah kedua adalah penghapusan prinsip strict liabilty atau prinsip tanggung jawab mutlak dari ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak ini mewajibkan setiap pihak yang menggunakan, mengelola, menghasilkan atau mengolah B3 atau yang menimbulkan ancaman serius pada lingkungan untuk mempertanggungjawabkan tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan.

Prinsip ini dianut oleh banyak sekali negara dan sayang sekali pada saat banyak bangsa lain semakin maju dalam upaya melindungi kehidupan generasi masa depan, kita malah mengambil langkah mundur dengan menurunkan standar kepatuhan pada peraturan menyangkut lingkungan hidup.

Harapan Besar pada Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR

Dalam pandangan saya ada beberapa hal yang pasti sehubungan dengan RUU Cipta Kerja ini. Kepastian pertama, Indonesia semakin membutuhkan investasi dan RUU Cipta Kerja ini kalau diloloskan akan sangat membantu. Kepastian kedua, banyak sekali suara yang berkeberatan terhadap RUU Cipta Kerja, baik dari segi substansi maupun proses. Suara keberatan tersebut harus didengar.

Saya sangat menghargai langkah baik Presiden Jokowi yang mendengar aspirasi kalangan pekerja dan memutuskan untuk menunda klaster pekerja. Oleh karena itu, harapannya agar pemerintah dan DPR tetap terbuka dalam mendengar berbagai masukan, karena seperti yang disampaikan di atas, banyak masalah substansi RUU ini yang perlu masukan dari berbagai pihak.

Harapannya, RUU Cipta Kerja yang akan disahkan oleh DPR adalah undang-undang yang dapat diterima secara luas dan dapat segera diaplikasikan untuk mendorong penyederhanaan perizinan, mengatasi keruwetan peraturan, dan mengurangi korupsi.

Dimuat di Hukumonline.com – 7 Mei 2020 >>