Sejak masa kuliah sampai kemudian mengajar Hukum Investasi dan bekerja sebagai konsultan hukum, saya cukup sering berkunjung ke kantor BKPM. Cukup banyak pengalaman menarik dari hasil bolak balik tersebut. Dari semua pengalaman, beberapa di antaranya tidak mudah dilupakan.

Menurut pengamatan, BKPM sebagaimana lembaga pemerintah lainnya, sangat terpaku pada proses formulir baku yang seringkali tidak begitu jelas dasar ataupun asal-usulnya. Sering kali sesuatu terus dilaksanakan sebagai kebijakan karena hal itu sudah sejak lama diterapkan. Perubahan tersebut sering dianggap dapat membawa risiko.

Dalam kondisi wabah Corona, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyatakan realisasi investasi asing kuartal 1 2020 turun 9.2% dan beliau pesimis bahwa target investasi tahun ini sebesar Rp886triliun akan tercapai. Ini adalah saat yang tepat bagi BKPM untuk kembali melakukan evaluasi atas berbagai aturan serta proses investasinya. Walaupun cukup banyak kemajuan yang kita capai dengan Online Submission System (OSS), namun ruang untuk perbaikan masih amat sangat luas. Jika inisiatif perbaikan ini tidak diambil, kesempatan merebut investasi ditengah pasar yang menurun drastis akan semakin meredup.

Dalam tulisan ini akan bercerita dua masalah yang pernah saya diskusikan dengan staf dan pejabat BKPM. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan ketentuan investasi kita. Pertama adalah soal Nilai Investasi Minimum (NIM) untuk Penanaman Modal Asing (PMA). Walaupun interaksi saya khusus menyangkut NIM usaha restoran, yang akan dibahas di sini adalah pertanyaan soal modal dan investasi minimum PMA secara umum.

Diskusi saya dan kolega dengan staf BKPM soal NIM restoran ini berlangsung lebih dari satu jam. Pada saat itu “berlaku” ketentuan tidak tertulis mensyaratkan NIM restoran sejumlah Rp10 miliar berlaku untuk setiap outlet, bukan per perusahaan. Terus terang kami merasa ketentuan tersebut tidak berdasar dan aneh. Sebab tidak banyak jenis restoran yang satu outletnya membutuhkan investasi lebih dari Rp10 miliar. Pertemuan itu adalah usaha kami untuk meminta kejelasan sekaligus mencoba meyakinkan bahwa ketentuan tersebut tidak pas. Alhasil kami gagal meyakinkan mereka. Salah satu alasan yang tampaknya paling dipegang adalah modal minimum dan NIM sengaja diatur tinggi guna melindungi UMKM dari PMA.

Kedua adalah diskusi yang terjadi beberapa tahun lalu, mengenai apakah “premium” (selisih antara nilai investasi dengan total nilai nominal yang diambil oleh investor) dapat dicatat sebagai bagian dari modal dan NIM. Diskusi berlangsung beberapa ronde mulai dari staf kemudian sampai pada pejabat BKPM yang lebih tinggi. Hasil diskusi itu? BKPM tetap pada pandangan premium adalah treatment akuntansi dan tidak bisa dicatat sebagai bagian penyertaan modal PMA. Fast forward ke era OSS yang menurut Saya secara suatu terobosan hebat dalam proses investasi, permasalahan modal/investasi minimum dan premium masih juga ada.

Syarat Modal Minimum BKPM Jauh di Atas Standar ASEAN

Berdasarkan ketentuan BKPM setiap PMA diwajibkan memiliki modal ditempatkan paling sedikit Rp2,5 miliar dan dalam waktu satu tahun sejak izin diberikan seluruh nilai investasi (dengan memperhitungkan modal dan pinjaman) harus lebih besar dari Rp10 miliar (NIM).

Syarat modal minimum dan NIM tersebut awalnya berupa kebijakan tidak tertulis yang kemudian tertuang pada peraturan BKPM sejak tahun 2013. Dalam perjalanannya aturan tersebut mengalami beberapa kali perubahan (kecuali menyangkut jumlah modal dan NIM) menyangkut kapan NIM harus terpenuhi dan apakah NIM dihitung per perusahaan atau per bidang usaha sesuai dengan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang dipilih.

Akhir Maret lalu keluar Peraturan BKPM No.1 tahun 2020 yang juga mengatur modal dan NIM. Sayang sekali berdasarkan ketentuan tersebut modal dan NIM masih tetap tinggi. Untuk modal minimal masih Rp2,5 miliar dan NIM, tergantung bidang usahanya, lebih besar dari Rp10 miliar (diluar nilai tanah dan bangunan) untuk setiap bidang usaha per lima digit KBLI setiap lokasinya atau berdasarkan dua digit KBLI.

Pertanyaannya mengapa BKPM membuat aturan modal dan nilai investasi layaknya seperti tiket masuk bioskop dengan satu tiket berlaku untuk satu pertunjukan saja. Seakan-akan jumlah bidang usaha (berdasarkan KBLI) yang akan dipilih adalah sumberdaya langka dan modal serta nilai investasi masuk langsung ke kas negara. Sehingga semakin banyak bidang usaha yang dipilih, semakin besar jumlah yang harus dibayar dan karenanya negara akan semakin untung.

Sangat jelas bahwa modal serta nilai investasi tidak masuk ke kas negara dan bidang usaha berdasarkan KBLI sama sekali bukan barang langka. Seluruh investasi yang dibawa investor tetap milik investor. Investasi itu baru akan berguna bagi bangsa jika digunakan untuk membangun usaha dan menciptakan lapangan kerja. Jadi yang terpenting adalah bagaimana agar pemerintah dapat membantu para investor untuk dapat segera melaksanakan dan memajukan usahanya.

Mayoritas investor asing memutuskan datang dan berusaha di Indonesia tentu sudah berdasarkan pertimbangan dan rencana yang matang. Sehingga pemerintah harus memberikan pengalaman yang baik untuk mereka sejak mendirikan perusahaan, mengurus izin usaha dan menjalankan perusahaan.

Apabila kita menetapkan modal minimum yang tinggi akan tetapi proses mendapatkan izin usaha membutuhkan waktu yang lama, nilai investasi minimum tersebut tidak dapat segera dimanfaatkan dan menjadi percuma. Di samping itu, Saya tidak melihat adanya korelasi langsung antara modal ataupun NIM dengan peningkatan jumlah investasi asing yang masuk.

Sebagai perbandingan, negara ASEAN lain seperti Singapura, Vietnam dan Malaysia secara umum tidak menetapkan syarat modal minimum. Sedangkan di Thailand, modal minimum sekitar AS$62 ribu untuk bidang-bidang yang tidak ada pembatasan asingnya. Persyaratan NIM kita Rp10 miliar (AS$700 ribu) untuk satu bidang usaha jauh sekali di atas negara-negara tetangga kita. Bagaimana kita bisa bersaing dengan negara-negara tetanga kita seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand? Kalau memang benar tujuan NIM tinggi ini untuk melindungi pengusaha UMKM sebagaimana yang disampaikan oleh staf BKPM di atas, mengapa itu hanya berlaku untuk PMA?

Jika yang ingin dilarang adalah modalnya, banyak juga pengusaha domestik yang bermodal kuat. Lalu apakah harus ada larangan yang sama untuk pengusaha domestik? Tentu saja tidak. Menggunakan modal minimum untuk PMA atau yang lain sebagai alat untuk melindungi UMKM adalah upaya menyederhanakan permasalahan absennya kebijakan yang lebih berpihak pada UMKM.

Saya yakin kebijakan NIM sekarang hanya meneruskan kebijakan yang ada sejak dulu. Dan patut diduga dahulu kebijakan tersebut dibuat tanpa melalui dasar riset yang komprehensif. Untuk itu penting sekali agar sebelum merevisi kebijakan modal minimum dan NIM ini, BKPM dapat melakukan riset yang serius dan komprehensif.

Premium Bukan Modal?

Premium (atau dikenal juga sebagai agio) adalah nilai yang mencerminkan perbedaan antara harga yang dibayarkan seseorang untuk sejumlah saham dengan total nilai nominal dari saham yang diambil. Dalam tulisan Saya sebelumnya “Rumitnya Modal PT Indonesia” dibahas mengenai masalah premium secara khusus.

Sampai saat ini BKPM menutup kemungkinan untuk mencatatkan jumlah premium yang dibayar oleh investor sebagai bagian dari nilai investasi. Sikap ini tidak ada manfaatnya akan tetapi menimbulkan kesulitan bagi investor. Pertama, premium yang dibayar adalah bagian dari modal yang dikeluarkan oleh investor. Kedua, terdapat kemungkinan jika premium tidak diperhitungkan, modal minimum dianggap belum terpenuhi (seperti ilustrasi di bawah) walaupun jumlah modal yang dibawa dan disetorkan oleh investor telah melebihi nilai investasi minimum. Ketiga, terdapat kemungkinan pengakuan hukum atas nilai investasi dan perlindungan pada hak investor tidak berlaku untuk seluruh nilai yang dibawa dan disetorkan.

Mungkin akan lebih mudah jika Saya beri ilustrasi mengenai masuknya investor asing pada satu perusahaan, sebut saja PT Shaiyo Sakato, dengan membayar premium. PT Shaiyo Sakato memiliki modal ditempatkan Rp100 juta yang terbagi dalam 100 saham dengan nilai nominal per saham Rp1 juta. Kemudian ada investor asing akan masuk ke dalam PT tersebut dengan mengambil 10 saham dengan harga Rp200 miliar.

Investor asing tersebut berani membayar harga tinggi mengingat nilai pasar PT Shaiyo Sakato sudah jauh lebih tinggi dari nilai nominalnya. Ini merupakan cerita yang sangat umum terjadi dalam praktik, sebab jarang sekali ada orang yang mau jual rugi perusahaannya.

Berdasarkan skenario di atas, setelah investor mengambil 10 saham baru modal PT Shaiyo Sakato tersebut menjadi:

  • Modal dasar Rp.110.000.000
  • Modal ditempatkan Rp.110.000.000
  • Modal disetor Rp.110.000.000

Perlu dicatat di sini modal ditempatkan setelah investor masuk hanya naik menjadi Rp110 juta sehingga masih di bawah ketentuan modal minimum Rp2,5 miliar. Padahal uang yang masuk dari investor ke PT Shaiyo Sakato jauh di atas itu yaitu Rp200 miliar. Berdasarkan peraturan BKPM yang ada, modal asing yang secara riil masuk sejumlah Rp200 miliar hanya akan tercatat pada sistim BKPM sejumlah Rp10 juta. Sisanya yang sejumlah lebih dari Rp199 miliar itu akan dicatat dalam buku PT Shaiyo Sakato sebagai premium/agio.

Dengan tidak dicatatnya premium sebagai modal dan juga nilai investasi (dalam kaitan dengan pemenuhan NIM), maka jumlah yang sangat besar itu “hilang” dari statistik modal asing berdasarkan versi BKPM. Di samping itu, PT Shaiyo Sakato tersebut dianggap tidak memenuhi ketentuan nilai investasi minimum yang Rp10 miliar meskipun investornya membawa masuk uang Rp200 miliar!

Sangat disayangkan permasalahan ini muncul hanya karena BKPM terpaku pada peraturan mengenai modal dalam UUPT yang memang tidak dirancang untuk keperluan pemenuhan persyaratan modal minimum maupun NIM. Padahal untuk BKPM yang terpenting adalah berapa jumlah dana yang dibawa oleh investor.

Penundukan diri ini sebenarnya tidak perlu mengingat BKPM tidak memiliki kewajiban hukum sama sekali untuk hanya mengakui jumlah nilai investasi yang sebagaimana terdaftar pada sistim administrasi badan hukum (SABH) yag dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Walau masalah ini sepertinya sepele, pada kenyataannya dapat menimbulkan risiko besar bagi investor asing. Dengan tidak tercatatnya penyetoran modal investor asing mungkin dapat mempengaruhi perlindungan hukum yang dapat diperoleh berdasarkan UU Penanaman Modal Asing maupun Bilateral Investment Treaty antara Indonesia dengan negara asal investor yang berlaku.

Untuk dapat tetap menjaga hak hukum investor tersebut, sering kali harus diambil jalan berputar dengan menggunakan saham berbeda kelas dengan hak sama. Efeknya proses akan menjadi lebih membingungkan dan semakin panjang yang berakibat meningkatnya biaya yang harus dibayar oleh investor asing.

Saat ini pemerintah tengah berupaya keras untuk memperbaiki iklim investasi. Salah satunya dengan mengambil jalan sulit, berliku dan terjal yaitu perbaikan struktural melalui RUU Cipta Kerja. Upaya perubahan struktural tersebut baik sekali. Namun janganlah kita lupa kalau sekarang kita masih banyak hambatan investasi yang disebabkan oleh peraturan di tingkat pusat, bahkan dalam hal ini dalam peraturan BKPM. Artinya segala hambatan itu bisa dengan mudah dan cepat dibuang guna beri dampak langsung pada upaya menarik investor. Karena itu, untuk menghormati upaya perubahan struktural yang berat tadi, masalah modal minimum dan pencatatan premium ini perlu untuk segera diperbaiki.

Dimuat di Hukumonline.com – 23 Mei 2020 >>