RUU Cipta kerja, yang mengubah 76 undang-undang sekaligus, jelas merupakan RUU paling kompleks menyentuh berbagai lapisan masyarakat yang pernah disetujui oleh DPR. Tidak heran banyak sekali kalangan masyarakat yang menyuarakan aspirasi dan kritiknya.

Setelah RUU tersebut disahkan oleh DPR, jelas sekali masih banyak catatan dari berbagai kalangan baik soal proses maupun substansi. Salah satu poin yang cukup mengkhawatirkan adalah dugaan perubahan substansi RUU setelah pengesahan paripurna yang menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum & HAM, Mahfud MD dapat menyebabkan UU Cipta Kerja cacat formal.

Terlepas dari perdebatan mengenai RUU ini yang masih terus berjalan dan keputusan Mahkamah Konstitusi nantinya, dalam hitungan hari RUU ini akan menjadi undang-undang. Karena itu wajar jika kita berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali berbagai masukan serta kritik masyarakat dalam pembuatan peraturan pelaksanaan. Karena undang-undang hanya akan berjalan secara efektif jika didukung secara luas oleh masyarakat.

Dengan berlakunya UU Cipta Kerja ini, penting juga kita melihat bagaimana ia bisa mendorong transformasi besar bidang perizinan yang selama ini tidak mungkin dilakukan antara lain akibat berbagai produk undang-undang yang tidak sinkron.

Sektor Perizinan Lahan Subur Korupsi

Sebagai advokat yang banyak membantu perusahaan dalam berbagai kegiatan usahanya, saya sering kali merasa perizinan di Indonesia diciptakan untuk menghambat dan bukan untuk melindungi masyarakat. Dalam tataran ide mungkin saja hal itu tidak benar, tapi pada kenyataannya jelas perizinan sangat menghambat berbagai kegiatan masyarakat dan menimbulkan kerugian besar bagi bangsa kita.

Menurut survei (yang diakukan terhadap 1.808 perusahaan dengan berbagai sektor di 64 (dari total 300) kabupaten di Indonesia pada September 2001 sampai dengan Juni 2002 terkait pertanyaan sikap dan pertanyaan kuantitatif yang berkaitan dengan regulasi dan perpajakan)) yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pada tahun 2001-2002 (Dikutip dari Corruption in Indonesia, J. Vernon Henderson dan Ari Kuncoro, 2004), sekitar 75% dari perusahaan di Indonesia membayar suap untuk mengurus perizinan. Rata-rata jumlah uang suap yang dibayarkan oleh perusahaan adalah 10% dari total biaya/pengeluaran perusahaan (Tes pre-survei menunjukkan bahwa apabila survei menanyakan secara eksplisit besaran nominal suap yang dikeluarkan (bukan dalam bentuk persentase), responden tidak akan memberikan respons yang akurat. Oleh karenanya, survei LPEM hanya menanyakan rasio besaran uang suap yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap total biaya perusahaan).

Apakah temuan dua puluh tahun lalu itu masih relevan dengan kondisi saat ini? Menurut saya masih. Akan tetapi untuk lebih yakin lagi, saya bertanya kepada beberapa pelaku usaha. Ternyata semua menganggap hasil survei itu cukup relevan. Bahkan untuk kondisi tertentu porsinya bisa lebih dari itu. Peningkatan biaya terjadi jika berbagai faktor lain seperti “ongkos’’ tertundanya proyek serta hilangnya kesempatan dimasukkan. Misalnya satu proyek yang izin operasinya tertunda karena pemberi izin mengharapkan suap. Maka pemilik proyek harus menanggung biaya terhentinya proyek (yang umumnya sangat besar) sampai izin diberikan.

Tidak mudah mencari referensi yang tepat untuk mendapatkan berapa jumlah 10% dari biaya tersebut dalam nilai rupiah. Data yang tersedia dari Badan Pusat Statistik (BPS) hanya terbatas pada perkiraan biaya industri sedang dan besar. Berdasarkan data tersebut, estimasi total pengeluaran seluruh perusahaan manufaktur pada tahun 2008 adalah Rp1.300 triliun (Pengeluaran perusahaan mencakup, antara lain, bahan baku, upah, dan biaya modal, dari total 25,694 perusahaan manufaktur di Indonesia).

Berdasarkan dasar estimasi pengeluaran bidang manufaktur tersebut, dapat diperkirakan total suap untuk perizinan sektor manufaktur saja pada tahun 2008 sekitar Rp100 triliun (Angka diperoleh dari jumlah pengeluaran seluruh perusahaan manufaktur (Rp1.300 triliun) dikali estimasi rasio suap/biaya setiap perusahaan (10%) dikali estimasi rasio perusahaan yang melakukan suap (75%)). Bisa kita bayangkan betapa besarnya masalah yang kita hadapi jika perkiraan angka sektor manufaktur saja sampai dengan Rp100 triliun.

Berangkat ke Hulu

Dari angka perkiraan suap perizinan yang fantastis itu, cukup banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan menyiapkan aparat penegak hukum yang berintegritas.

Penegakan hukum itu letaknya di hilir. Ia menindak praktik suap yang telah dilakukan dan bisa terungkap. Mengapa kita tidak berupaya memecahkan masalah di hulu? Bukankah memperbaiki sistim perizinan kita yang super semrawut bisa menghilangkan atau setidaknya mengurangi kesempatan melakukan suap?

Jika kita bandingkan antara praktik suap yang terungkap oleh penegakan hukum dengan perkiraan angka suap perizinan yang di atas Rp100 triliun itu, tentu kita sepakat bahwa betapapun keras upaya di hilir, tidak akan pernah bisa keluar dari masalah ini tanpa membereskannya di hulu.

Saya melihat sebagian besar isi UU Cipta Kerja adalah upaya untuk menyelesaikan masalah suap perizinan di hulu. Intinya, transformasi proses perizinan secara besar-besaran yang diikuti oleh reformasi birokrasi diharapkan dapat menghilangkan sebagaian besar korupsi perizinan dengan cara menghilangkan kesempatan korupsi.

Risk-based approach yang diperkenalkan oleh UU Cipta Kerja merupakan salah satu komponen penting. Dengan pendekatan ini, banyak sekali izin yang sebenarnya tidak diperlukan dapat diubah menjadi pendaftaran. Langkah tersebut akan punya efek langsung mengurangi korupsi secara proporsional dengan jumlah izin yang diganti menjadi pendaftaran.

Tentu saja kita tidak boleh membasmi keburukan dengan menciptakan keburukan lainnya. Oleh karena itu, tidak mungkin semua kegiatan yang sebelumnya membutuhkan izin diganti menjadi pendaftaran. Kegiatan berisiko tinggi tetap harus mendapatkan izin, dengan standar yang lebih tinggi dari sebelumnya dengan proses yang lebih transparan sehingga meminimalisir kesempatan untuk korupsi.

Bagi kegiatan yang memiliki risiko medium, proses dilakukan dengan mengandalkan standar yang akan ditetapkan pemerintah (yang juga harus lebih tinggi dari sebelumnya) dan ikut diawasi oleh lembaga-lembaga independen serta profesional. Semua itu dilakukan melalui proses dengan bantuan teknologi yang lebih menjamin adanya transparansi dibandingkan proses yang ada saat ini.

Tentu pendekatan baru ini membutuhkan birokrat dengan kualitas, disiplin, dan integritas yang tinggi serta teknologi yang mumpuni. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi syarat mutlak berjalannya rezim perizinan baru ini. Semoga saja pemerintah telah menyiapkan program ini sebagai satu kesatuan dengan penyiapan berbagai peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja.

Proyek Besar Berantas Korupsi di Hulu

Menurut saya upaya reformasi perizinan melalui UU Cipta Kerja bisa memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Pendapat ini merujuk fakta sudah ada beberapa ijtihad memberantas korupsi perizinan secara terbatas yang berhasil dengan baik. Proyek-proyek terbatas itu dilakukan melalui transformasi cara kerja (proses bisnis) pemberian perizinan dan administrasi dengan mengunakan bantuan teknologi. Suksesnya upaya tersebut langsung dapat dirasakan oleh praktisi dan pelaku usaha.

Contoh pertama adalah proses pendirian perseroan terbatas (PT). Sebelum dilakukan overhaul proses persetujuan pendirian PT, mendirikan PT adalah proses sulit, mahal, lama, dan rawan suap. Setelah berbagai upaya perbaikan dilakukan yang berkulminasi pada adanya perubahan mendasar proses pada tahun 2014, mendirikan PT menjadi mudah, murah, cepat dan bebas suap.

Perubahan yang dilakukan adalah dengan memindahkan proses review anggaran dasar PT yang semula oleh pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada notaris. Proses ini disertai digitalisasi seluruh rangkaian proses dengan memberikan peran kunci pada notaris. Sejak transformasi tersebut dilakukan sampai saat ini, proses pendaftaran PT berjalan dengan cukup baik dan data menyangkut PT dapat diakses publik dengan cukup mudah.

Kisah sukses transformasi kedua adalah digitalisasi proses administrasi perkara perdata dan publikasi putusan oleh Mahkamah Agung. Jika sebelumnya proses administrasi perkara perdata harus melalui berbagai tahapan dan interaksi intensif dengan pengadilan, sekarang seluruh proses dilakukan secara online. Dengan langkah besar ini, proses berperkara menjadi sangat mudah serta murah tanpa dibebani praktik suap.

Terakhir adalah transformasi perizinan melalui OSS (Online Single Submission). Saat ini berbagai izin dasar usaha seperti SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan), API (Angka Pengenal Importir), SKDP (Surat Keterangan Domisili Perusahaan), dan Hak Akses Kepabeanan sudah dapat diberikan secara full online melalui OSS.

Dengan perubahan ini, ongkos dan waktu yang dihabiskan oleh masyarakat untuk mendapatkan izin-izin tersebut menurun drastis. Sebelum berlakunya OSS, kami melakukan riset kecil mengenai ongkos yang dikeluarkan masyarakat untuk mendirikan PT (termasuk mengurus berbagai izin dasarnya) berdasarkan standard cost method. Hasilnya, setiap tahunnya masyarakat terbebani ongkos lebih dari Rp800 miliar. Setelah OSS berjalan, otomatis ongkos tersebut turun drastis karena izin-izin tersebut berubah menjadi pendaftaran yang dapat dikerjakan sekaligus secara online.

Sayangnya OSS yang diatur dalam PP No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik tidak dapat dikembangkan ke berbagai izin lain. Terutama karena kendala rezim pengaturan izin kita yang masih license-based, belum sinkron antara berbagai kewenangan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah serta tidak seragamnya sistem informasi berbasis peta yang digunakan berbagai instansi pemerintah.

Berbagai permasalahan tersebut diyakini hanya bisa diatasi melalui instrumen undang-undang. Saya pikir itu salah satu sebab proses pembuatan RUU Cipta Kerja dimulai. Undang-undang tersebut diharapkan menyederhanakan prosedur izin yang seluruhnya dapat diproses melalui OSS secara end to end.

Dengan kisah sukses di atas, bolehlah kita berharap bahwa proyek besar memberantas korupsi di hulu dapat berhasil baik.

Dimuat di Hukumonline.com – 23 Oktober 2020 >>